kreatifitas silvia
Senin, 30 April 2012
Rabu, 18 April 2012
Pemikiran Hukum Islam (Menurut Khaled Abou El-Fadl)
Biografi tentang Khaled Abu Fadl
Khaled Abu Fadl lahir di negara Kwait, sebuah negara yang terletak
di Timur Tengah dengan komplek
permasalahan agama yang begitu mendalam. Tahun 1963 merupkan tahun
kelahirannya. Dia lahir dalam keluarga yang taat beragama dan sederhana, meskipun
begitu keluarga Kahled Abu Fadl sangatlah terbuka dengan hal-hal yang bersifat
pemikiran. Dalam masa perkembangan dan remajanya, dia sangatlah kental dalam
puritanisme. Dia tidak menyangkal bahwa dia begitu membenci kelompok dari luar
puritanisme dia.
Akan tetapi, keluarga dia begitu terbuka dengan persoalan pemikiran.
Pada saat itu paham wahabisme begitu kental dalam masalah pemikiran dan isu-isu
agama. Semua buku-buku yang masuk ke negaranya disortir sedemikian rupa untuk
menjamin paham lainnya tidak masuk ke dalam, dengan alasan kepentingan para
pihak atas. Akan tetapi pada saat yang bersamaan pada akhirnya dia dapat
menempuh pendidikan yang menghantarkannya pada keadaanya pemikiran yang
sekarang dia yakini, yaitu menempuh studi di Universitas Yale di Amerika
Serikat. Dengan bergesernya waktu dan berbenturan dengan budaya-budaya telah
menggeserkan apa yang menjadi pemikirannya yang kemudian menjadikannya sebagai
seorang liberlisme. Dari studi-studi yang dilakukannya inilah yang dapat
menjadikan pemikirannya akan islam menjadi terbuka begitu lebar dan jauh dari
sebelumnya yang begitu tertutup dengan paham puritanisme dalam kekangan, ini
juga dibarengi dengan pengekangan pemahaman kaum wahabi yang mensortir semua
buku-buku yang masuk ke negaranya.
Sebenarnya, apa yang menjadi pemikirannya kemudian berlanjut ke
Yale University adalah buah dari apa yang dia pelajari selama menempuh
perjalanan studi di Al-Azhar. Menamatkan di Almamaternya itu pada tahun 1982.
Akan tetapi, meski begitu sebenarnya tidak begitu jelas alasan kenapa dia
meneruskan pendidikannya ke Yale University[1].
Pemikiran Islam
Pada awal pemahaman Khaled Abou Fadel membedakan antara Syariat dan
Fiqh. Syariat merupakan kehendak Tuhan yang berbentuk abstrak dan ideal.
Sedangkan fiqh merupakan upaya manusia dalam memahami kehendak Tuhan. Dalam
pengertian ini syariat selalu dipandang sebagai yang terbaik, adil dan seimbang
dari pada yang lain. Sedangkan fiqh hanyalah upaya untuk mencapai tujuan dan
cita-cita syariat. Tujuan syariat islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia,
dan tujuan fiqh adalah memahami dan
menerapkan syariat islam. Dalam konteks fiqh inilah ijtihad tidak pernah
selesai dan sempurna.
Salah satu pandangannya yang sangat amat sederhana memiliki
implementasi serius dalam tatanan hukum adalah pandanganya tentang anjing dalam
perspektif hukum islam (fiqh). Pandangan sebagian besar ulama tentang larangan
memelihara anjing di luar upaya perlindungan dan keamanan, menurut Abou El
Fadl, adalah pandangan pra-modern. Memelihara anjing bukanlah semata-mata
persoalan teologis, melainkan persoalan budaya. Dalam sebuah masyarakat yang
membudayakan anjing sebagai salah satu hewan peliharaan, maka tidak salah
anjing diperlakukan sebagaimana hewan lainnya, seperti burung kucing dan lain
sebagainya.[2]
Dalam pemahaman apa yang diyakini kemudian menjadikan tesis dalam
studi perkuliahannya, bahkan dapat membongkar jantung persoalan hukum islam,
yaitu kritik akademis atas konsep “atas nama Tuhan”. Pada umumnya, paradigma
hukum islam berhenti pada klaim “atas nama Tuhan”. Artinya, setiap metedologi
yang tersedia dalam hamparan khazanah hukum islam senantiasa mencari
justifikasi dan legitimasi dari klaim tersebut, bukannya dalam kerangka
memecahkan persoalan, melainkan mempertahankan pandangan semata. Kenyataan ini
menyebabkan hukum islam berhenti dan berjalan di tempat. Maka, lahirlah suatu
fenomena dalam hukum islam dewasa ini apa yang disebut “otoritanisme”. Di
mana-mana muncul pemberlakuan hukum islam namun tetap mempertahankan paradigma
lama yang menggunakan standart “otoritanisme”, bukan atas standar kemanusian dan
kekinian. Oleh karena itu, diperlukan sebuah metodologi hukum islam dengan
paradigma yang lebih tepat: keadilan sosial, kesejahteraan dan kesetaraan.
Metedologi yang digagas oleh Abou Fadl, pertama-tama berangkat dari
pandangannya terhadapa Al-Qur’an dan Hadits. Ia percaya pada keilahian
Al-Qur’an dan kenabian Muhammad. Ia juga percaya bahwa metode penafsiran yang
otoriter akan merusak integritas teks Islam dan membungkam suaranya. Secara
eksplisit Abou Fadl menyebut bahwa pendekatananya terhadap kedua sumber hukum
islam tersebut bersifat normatif. Pilihan pendekatan normatif ini lebih
didasarkan pada keniscayaan dari keahliannya sebagai ahli hukum islam.
Pendapatan normatif di siniberarti bahwa teks-teks keagamaan membuka diri untuk
dipahami dan ditafsirkan secara tidak tunggal. Hal ini ditunjukkan tidak hanya
oleh fakta keragaman umat islam yang berperilaku berbeda-beda, tetapi juga oleh
teks-teks itu sendiri yang menyediakan ruang framework bagi keragaman dan
pluralitas. “setiap teks” termasuk teks-teks islma menyediakan berbagai
kemungkinan makna. Akibatnya makna tergantung menurut moral pembacanya. Jika
pembacanya intoleran, penuh kebencian, penindas, maka demikian juga hasil
interpretasinya.[3]
Tesis pertamanya, dalam wacana hukum islam adalah intepretasi
terhadapa teks islam dapat bermuara pada arus yang berseberangan, yakni
otoritatif atau otoritarian[4].
Pandangannya ini didasarkan pada sejumlah academic discourses yang berkembang
di Barat, bahkan istilah otoritatif dan ototritarian diambil dari buku Joseph
Vining.
Otoritas menjadi salah satu konsep penting dalam pemikiran Abou
El-Fadl, terutama terkait dengan diskursus hukum islam. Abou Fal menemukan
adanya ketegangan yang terdapat dalam tradisi penafsiran teks-teks keagamaan.
Ketegangan itu terutama menyangkut relsi antara otoritas teks dan kontruksi
teks bersifat otoriter. Bagaimana sebuah otoritas dibentuk.
Al-Qur’an sendiri menurut Abou El Fadl menyimpan sejumlahsejumlah
perdebatan. Anggapan bahwa keputusan hanyalah milik Tuhan, sebagaimana dipegang
kelompok Khawarij, adalah ungkapan yang diambil dari al-Quran surat Yusuf (40)
إن الحكم إلا
لله ألا تعبدوا إلا الله إياه ذلك الدينالقوي ولكن أكثر الناس لا يعامون
Artinya:
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (yusuf ayat 40)
Kelompok Khawarij mengklaim bahwa “semua hukum hanyalah milik
Allah.” Pernyataan ini di debat oleh Ali r.a dengan mengatakan bahwa pernyataan
tersebut memang bena, akan tetapi kelompok Khawarij keliru menafsirkannya.
Menurut Ali memang benar bahwa semua hukum hanyalah milik, Allah tetapi menjadi
tidak benar menafsirkan pemerintahan juga milik Allah. Yang benar bahwa kita
tidak bisa lari dari kenyataan bahwa mau tidak mau manusia harus mengandalkan
pemerintahan. Melalui pemerintah pajak dikumpulkan, musuh diusir, jalan –jalan
dilindungi dan hak-hak orang lemah diambil dari orang-orang yang kuat, hingga
kebenaran memperoleh tempat dan terlindung dari manipulasi orang-orang yang
berhati jahat.[5]
Kesimpulan
Hukum Islam seyogyanya dipilahkan antara sebagai hukum yang abadi,
yang bersumber dari Allah, dan sebagai ikhtiar seseorang untuk memahami dan
mengimplementasikan hukum abadi tersebut. Menurut Khaled Abou Fadel Syariat dan
Fiqh punya arti yang berbeda. Syariat merupakan kehendak Tuhan yang berbentuk
abstrak dan ideal. Sedangkan fiqh merupakan upaya manusia dalam memahami
kehendak Tuhan.
Menurut Kholid pada umumnya, paradigma hukum islam berhenti pada
klaim “atas nama Tuhan”. Artinya, setiap metedologi yang tersedia dalam
hamparan khazanah hukum islam senantiasa mencari justifikasi dan legitimasi
dari klaim tersebut, bukannya dalam kerangka memecahkan persoalan, melainkan
mempertahankan pandangan semata.
Otoritas menjadi salah satu konsep penting dalam pemikiran Abou
El-Fadl, terutama terkait dengan diskursus hukum islam.
Al Quran adalah elemen kebenaran dalam bentuk teks; dan elemen
kebenaran yang lain adalah penggunaan akal.
[1] Fadl
Abou Fadl, Musyawarah Buku Menelusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab,
terjemahan Abdullah Ali, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta 2002.
[2] Abou El
Fadl Khaled, Atas nama Tuhan: dari fiqh kontemporer ke fikih
otoritatif,terjemahan Cecep Lukman Hakim, Jakarta: Serambi 2004.
[3] Abou
Fadl Kholed. The Place of Tolerance in Islam (Boston: Beacon Perss, 2002)
[4] Abou
El-Fadl , Melawan Tentara Tuhan, yang berwenang dan sewenang-wenang dalam hukum
islam. Terjemahan Kurniawan Abdullah(Jakarta: Serambi 2003)
[5] Ibid.
Selasa, 17 April 2012
Keaneragamaan budaya etnis yang menghiasi bumi
pertiwi ini terasa begitu indah di tangan para seniman, dan budayawan. Mereka menuangkan fenomena alam
lewat bait puisi, lirik lagu dan alunan gamelan dan gelayutan tangan yang
tertuang lewat lukisan atau hanya karya anak bangsa kecil yang menuangkan lewat
gambar unik lucu dan tetapi mengkritik.
Diatas bumi nan hijau yang disebut surga ini
kita dianugrahkan ribuan kekayaan yang tidak hanya lewat alam tapi juga
kebudayaan dan orang – orang pemikir dan pejuang yang hebat. Para pejuang
bangsa yang rela menaruh nyawa mereka diatas tombak demi merebut kemerdekaan
bangsa ini dari tangan penjajah. Demi tetap berkibarnya sang saka Merah Putih
diatas penjuru indonesia.
Kita dianugrahkan surga yang penuh akan
kekayaan tetapi mengapa kita tetap saja miskin dan trtinggal ? Pertanyaan itu
yang selalu megusik tidur malam rakyat indonesia. Nampaknya kita sedang dilanda
virus, tetapi bukan hanya firus yang mematikan tapi membunuh semua rakyat ,
bahkan jika virus ini tidak segera di tindak lanjuti, dan dimusnahkan maka akan
membunuh bangsa kita. Dan inilah virus yang menyebabkan kita semakin tertindas
dan makin tertinggal, virus miskin identitas.
Langganan:
Postingan (Atom)