Senin, 30 April 2012

curhat hatiku


Berat hati ku taip kali ku melangkah dengan mengingat masa indah saat bersama mu. Rasanya enggan aku beranjak dari tempat ku bersama mu. Ingin selalau ku setiap waktu bertahan bersamamu. Mungkin kini kau tetap disampingku tapi tak seperti yang dulu. Aku tak bisa menjamah hati mu yang telah lalu tertutup buat ku. Mungkin kah kita kan mengulang hidup yang lalu. Yang pernah kita lalui bersama berdua bahagia dan ceria.aku bahagia bersamamu tak seperti kini walua hidupku terlihat berwarna pi nyatanya aku tak menemukan warna itu. Aku merasa semuanya kelabu tanpa hadirnya diri mu kini. Aku tak menemukan indahnya pelangi seperti saat aku bersama mu dulu. Aku mersa pelangi pun enggan kembali karna hati ini yang terlanjur kelabu. Aku tau karna pelangi mau kau menjadi warna didalm pelangi hatiku. Karna hanya kamulah satu satunya warna yang mampu membuat berbagai macam lukisan yang indah di dalam hidup ku. Bahkan kau mampu membuat kan aku pelangi dalam hujan yang lebat dan gelapnya malam. Kau mampu mengubah malam gelap ku yang tak pernah berujung menajdi malam indah penuh bintang dan mengubahnya menjadi siang yang begitu benderang. Aku tak tau harus kemana ku cari pelangiku yang telah hilang bersama keprgian mu. Bahkan kini tak kutemukan jalan yang menuntunku padamu, yang ku temui hanyalah jalan yang tak ada ujungnya dan tanpa tujuan yang pasti. Aku bingun dalam kegelapan tanpa mu yang mampu menuntunku. Ingin ku berlari mundur mencari bayang mu yang tertinggal bersama angan ku. Ingin kau yang selalu bernyanyi dalam setiap tangisku. Ingatkah kau saat kita berbagi bersama kau jadi pahlawanku disetiap detikku. Kau jadi kado terindah dalam hidupku kau jadi obat disetiap sakit ku. Kau mampu membopong hidup ku kejalan yang lebih baik. Bagiku kau tak hanya orang yang ku sayang pi kau motifasiku buat hidup. Kau separo dari semangatku. Kau tiupkan angin malm yang bisa membuat malam ku yang dingin menjadi lebih dingin..

Rabu, 18 April 2012

Pemikiran Hukum Islam (Menurut Khaled Abou El-Fadl)


Biografi tentang Khaled Abu Fadl
Khaled Abu Fadl lahir di negara Kwait, sebuah negara yang terletak di Timur Tengah  dengan komplek permasalahan agama yang begitu mendalam. Tahun 1963 merupkan tahun kelahirannya. Dia lahir dalam keluarga yang taat beragama dan sederhana, meskipun begitu keluarga Kahled Abu Fadl sangatlah terbuka dengan hal-hal yang bersifat pemikiran. Dalam masa perkembangan dan remajanya, dia sangatlah kental dalam puritanisme. Dia tidak menyangkal bahwa dia begitu membenci kelompok dari luar puritanisme dia.
Akan tetapi, keluarga dia begitu terbuka dengan persoalan pemikiran. Pada saat itu paham wahabisme begitu kental dalam masalah pemikiran dan isu-isu agama. Semua buku-buku yang masuk ke negaranya disortir sedemikian rupa untuk menjamin paham lainnya tidak masuk ke dalam, dengan alasan kepentingan para pihak atas. Akan tetapi pada saat yang bersamaan pada akhirnya dia dapat menempuh pendidikan yang menghantarkannya pada keadaanya pemikiran yang sekarang dia yakini, yaitu menempuh studi di Universitas Yale di Amerika Serikat. Dengan bergesernya waktu dan berbenturan dengan budaya-budaya telah menggeserkan apa yang menjadi pemikirannya yang kemudian menjadikannya sebagai seorang liberlisme. Dari studi-studi yang dilakukannya inilah yang dapat menjadikan pemikirannya akan islam menjadi terbuka begitu lebar dan jauh dari sebelumnya yang begitu tertutup dengan paham puritanisme dalam kekangan, ini juga dibarengi dengan pengekangan pemahaman kaum wahabi yang mensortir semua buku-buku yang masuk ke negaranya.
Sebenarnya, apa yang menjadi pemikirannya kemudian berlanjut ke Yale University adalah buah dari apa yang dia pelajari selama menempuh perjalanan studi di Al-Azhar. Menamatkan di Almamaternya itu pada tahun 1982. Akan tetapi, meski begitu sebenarnya tidak begitu jelas alasan kenapa dia meneruskan pendidikannya ke Yale University[1].



Pemikiran Islam
Pada awal pemahaman Khaled Abou Fadel membedakan antara Syariat dan Fiqh. Syariat merupakan kehendak Tuhan yang berbentuk abstrak dan ideal. Sedangkan fiqh merupakan upaya manusia dalam memahami kehendak Tuhan. Dalam pengertian ini syariat selalu dipandang sebagai yang terbaik, adil dan seimbang dari pada yang lain. Sedangkan fiqh hanyalah upaya untuk mencapai tujuan dan cita-cita syariat. Tujuan syariat islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia, dan tujuan fiqh adalah memahami  dan menerapkan syariat islam. Dalam konteks fiqh inilah ijtihad tidak pernah selesai dan sempurna.
Salah satu pandangannya yang sangat amat sederhana memiliki implementasi serius dalam tatanan hukum adalah pandanganya tentang anjing dalam perspektif hukum islam (fiqh). Pandangan sebagian besar ulama tentang larangan memelihara anjing di luar upaya perlindungan dan keamanan, menurut Abou El Fadl, adalah pandangan pra-modern. Memelihara anjing bukanlah semata-mata persoalan teologis, melainkan persoalan budaya. Dalam sebuah masyarakat yang membudayakan anjing sebagai salah satu hewan peliharaan, maka tidak salah anjing diperlakukan sebagaimana hewan lainnya, seperti burung kucing dan lain sebagainya.[2]
Dalam pemahaman apa yang diyakini kemudian menjadikan tesis dalam studi perkuliahannya, bahkan dapat membongkar jantung persoalan hukum islam, yaitu kritik akademis atas konsep “atas nama Tuhan”. Pada umumnya, paradigma hukum islam berhenti pada klaim “atas nama Tuhan”. Artinya, setiap metedologi yang tersedia dalam hamparan khazanah hukum islam senantiasa mencari justifikasi dan legitimasi dari klaim tersebut, bukannya dalam kerangka memecahkan persoalan, melainkan mempertahankan pandangan semata. Kenyataan ini menyebabkan hukum islam berhenti dan berjalan di tempat. Maka, lahirlah suatu fenomena dalam hukum islam dewasa ini apa yang disebut “otoritanisme”. Di mana-mana muncul pemberlakuan hukum islam namun tetap mempertahankan paradigma lama yang menggunakan standart “otoritanisme”, bukan atas standar kemanusian dan kekinian. Oleh karena itu, diperlukan sebuah metodologi hukum islam dengan paradigma yang lebih tepat: keadilan sosial, kesejahteraan dan kesetaraan.
Metedologi yang digagas oleh Abou Fadl, pertama-tama berangkat dari pandangannya terhadapa Al-Qur’an dan Hadits. Ia percaya pada keilahian Al-Qur’an dan kenabian Muhammad. Ia juga percaya bahwa metode penafsiran yang otoriter akan merusak integritas teks Islam dan membungkam suaranya. Secara eksplisit Abou Fadl menyebut bahwa pendekatananya terhadap kedua sumber hukum islam tersebut bersifat normatif. Pilihan pendekatan normatif ini lebih didasarkan pada keniscayaan dari keahliannya sebagai ahli hukum islam. Pendapatan normatif di siniberarti bahwa teks-teks keagamaan membuka diri untuk dipahami dan ditafsirkan secara tidak tunggal. Hal ini ditunjukkan tidak hanya oleh fakta keragaman umat islam yang berperilaku berbeda-beda, tetapi juga oleh teks-teks itu sendiri yang menyediakan ruang framework bagi keragaman dan pluralitas. “setiap teks” termasuk teks-teks islma menyediakan berbagai kemungkinan makna. Akibatnya makna tergantung menurut moral pembacanya. Jika pembacanya intoleran, penuh kebencian, penindas, maka demikian juga hasil interpretasinya.[3]
Tesis pertamanya, dalam wacana hukum islam adalah intepretasi terhadapa teks islam dapat bermuara pada arus yang berseberangan, yakni otoritatif atau otoritarian[4]. Pandangannya ini didasarkan pada sejumlah academic discourses yang berkembang di Barat, bahkan istilah otoritatif dan ototritarian diambil dari buku Joseph Vining.
Otoritas menjadi salah satu konsep penting dalam pemikiran Abou El-Fadl, terutama terkait dengan diskursus hukum islam. Abou Fal menemukan adanya ketegangan yang terdapat dalam tradisi penafsiran teks-teks keagamaan. Ketegangan itu terutama menyangkut relsi antara otoritas teks dan kontruksi teks bersifat otoriter. Bagaimana sebuah otoritas dibentuk.
Al-Qur’an sendiri menurut Abou El Fadl menyimpan sejumlahsejumlah perdebatan. Anggapan bahwa keputusan hanyalah milik Tuhan, sebagaimana dipegang kelompok Khawarij, adalah ungkapan yang diambil dari al-Quran surat Yusuf (40)
إن الحكم إلا لله ألا تعبدوا إلا الله إياه ذلك الدينالقوي ولكن أكثر الناس لا يعامون
Artinya:  
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (yusuf ayat 40)
Kelompok Khawarij mengklaim bahwa “semua hukum hanyalah milik Allah.” Pernyataan ini di debat oleh Ali r.a dengan mengatakan bahwa pernyataan tersebut memang bena, akan tetapi kelompok Khawarij keliru menafsirkannya. Menurut Ali memang benar bahwa semua hukum hanyalah milik, Allah tetapi menjadi tidak benar menafsirkan pemerintahan juga milik Allah. Yang benar bahwa kita tidak bisa lari dari kenyataan bahwa mau tidak mau manusia harus mengandalkan pemerintahan. Melalui pemerintah pajak dikumpulkan, musuh diusir, jalan –jalan dilindungi dan hak-hak orang lemah diambil dari orang-orang yang kuat, hingga kebenaran memperoleh tempat dan terlindung dari manipulasi orang-orang yang berhati jahat.[5]



Kesimpulan

Hukum Islam seyogyanya dipilahkan antara sebagai hukum yang abadi, yang bersumber dari Allah, dan sebagai ikhtiar seseorang untuk memahami dan mengimplementasikan hukum abadi tersebut. Menurut Khaled Abou Fadel Syariat dan Fiqh punya arti yang berbeda. Syariat merupakan kehendak Tuhan yang berbentuk abstrak dan ideal. Sedangkan fiqh merupakan upaya manusia dalam memahami kehendak Tuhan.
Menurut Kholid pada umumnya, paradigma hukum islam berhenti pada klaim “atas nama Tuhan”. Artinya, setiap metedologi yang tersedia dalam hamparan khazanah hukum islam senantiasa mencari justifikasi dan legitimasi dari klaim tersebut, bukannya dalam kerangka memecahkan persoalan, melainkan mempertahankan pandangan semata.
Otoritas menjadi salah satu konsep penting dalam pemikiran Abou El-Fadl, terutama terkait dengan diskursus hukum islam.
Al Quran adalah elemen kebenaran dalam bentuk teks; dan elemen kebenaran yang lain adalah penggunaan akal.


[1] Fadl Abou Fadl, Musyawarah Buku Menelusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab, terjemahan Abdullah Ali, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta 2002.
[2] Abou El Fadl Khaled, Atas nama Tuhan: dari fiqh kontemporer ke fikih otoritatif,terjemahan Cecep Lukman Hakim, Jakarta: Serambi 2004.
[3] Abou Fadl Kholed. The Place of Tolerance in Islam (Boston: Beacon Perss, 2002)
[4] Abou El-Fadl , Melawan Tentara Tuhan, yang berwenang dan sewenang-wenang dalam hukum islam. Terjemahan Kurniawan Abdullah(Jakarta: Serambi 2003)
[5] Ibid.

Selasa, 17 April 2012


Keaneragamaan budaya etnis yang menghiasi bumi pertiwi ini terasa begitu indah di tangan para seniman, dan  budayawan. Mereka menuangkan fenomena alam lewat bait puisi, lirik lagu dan alunan gamelan dan gelayutan tangan yang tertuang lewat lukisan atau hanya karya anak bangsa kecil yang menuangkan lewat gambar unik lucu dan tetapi mengkritik.
Diatas bumi nan hijau yang disebut surga ini kita dianugrahkan ribuan kekayaan yang tidak hanya lewat alam tapi juga kebudayaan dan orang – orang pemikir dan pejuang yang hebat. Para pejuang bangsa yang rela menaruh nyawa mereka diatas tombak demi merebut kemerdekaan bangsa ini dari tangan penjajah. Demi tetap berkibarnya sang saka Merah Putih diatas penjuru indonesia.
Kita dianugrahkan surga yang penuh akan kekayaan tetapi mengapa kita tetap saja miskin dan trtinggal ? Pertanyaan itu yang selalu megusik tidur malam rakyat indonesia. Nampaknya kita sedang dilanda virus, tetapi bukan hanya firus yang mematikan tapi membunuh semua rakyat , bahkan jika virus ini tidak segera di tindak lanjuti, dan dimusnahkan maka akan membunuh bangsa kita. Dan inilah virus yang menyebabkan kita semakin tertindas dan makin tertinggal, virus miskin identitas.